Selasa, 28 April 2015

Bank Internasional indonesia

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwJWTb7JZZPvibmUIUuGNauaLv7Vu3VNXt-Ton9DkXK5rYuC7GU82p6J1HYnUB9r6BRBdWAdnqhXypodCAHr5NxT8nTgLFPA6kPcoe2phO7Y72BJ5HwsXhBAwy2rW2OlMl4EKr1_4gOG8/s1600/Logo_Bank_BII.png
Mengenal Bank Internasional Indonesia


PT Bank Internasional Indonesia Tbk didirikan 15 Mei 1959. Setelah mendapatkan izin sebagai bank devisa pada 1988, BII mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia atau BEI) pada 1989. Sejak menjadi perusahaan publik, BII telah tumbuh menjadi salah satu bank swasta terkemuka di Indonesia.
Pada 30 September 2008, Maybank Offshore Corporate Services (Labuan) Sdn. Bhd. (MOCS), anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh Malayan Banking Berhad (Maybank), menyelesaikan pengambilalihan 100% saham Sorak Financial Holdings Pte, Ltd, pemilik 55,51% saham BII. Pada Desember 2008, MOCS menyelesaikan penawaran tender untuk sisa saham BII dan meningkatkan kepemilikannya.
BII adalah salah satu bank terbesar di Indonesia dengan jaringan internasional yang memiliki 303 cabang termasuk lima cabang Syariah, serta 893 ATM dan 15 CDM (Cash Deposit Machines) BII di seluruh Indonesia, dan juga sudah terkoneksi dengan lebih dari 20.000 ATM yang tergabung dalam Jaringan ATM Prima, ATM Bersama, ALTO, Cirrus dan jaringan MEPS di Malaysia dan sekaligus terhubung dengan lebih dari 2.800 ATM Maybank di Malaysia dan Singapura serta memiliki kantor cabang luar negeri diMauritius, Mumbai dan Cayman Islands. Per 30 September 2010, total simpanan nasabah sebesar Rp55 triliun dan aset sebesar Rp72 triliun. BII menyediakan serangkaian jasa keuangan melalui kantor cabang dan jaringan ATM, Phone Banking dan Internet Banking. BII telah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan aktif di sektor UKM/Komersial, Konsumer dan Korporasi. BII menyediakan produk dan jasa untuk perusahaan berskala menengah dan komersial serta menyediakan kepada individu produk-produk kartu kredit, KPR, deposito, pinjaman dan layanan wealth management. Sedangkan layanan untuk nasabah korporasi adalah pinjaman, trade finance, cash management, kustodian dan foreign exchange.

Bank internasional Indonesia mempunyai visi dan misi yaitu
Visi
Menjadi relationship bank terkemuka di Indonesia yang hadir di tengah-tengah komunitas, memberikan layanan melalui produk dan solusi sesuai dengan kebutuhan serta layanan yang berkualitas tinggi

Misi
Humanizing Financial Services 

sumber; 





Selasa, 16 Desember 2014

Kekurangan Material melalui Implementasi Quality Control Circle

Kekurangan Material melalui Implementasi Quality Control Circle
Togar W. S. Panjaitan1, Debora A. Y. A.1, Marissa Yessicha1

Abstract: The revolution of traditional quality management concept into total quality management (TQM) inspired industry for establishing and implementing quality control circle (QCC). Before starting a project as the implementation of the QCC, the training was held for supporting the knowledge of the QCC team. As the pilot project of the QCC, this research will try to minimize the percentage of the lack material in the production process of 8340 type by working together with the QCC team. The result of QCC implementation could reach the target set by the team, the percentage of the lack material reached less than 3%. The percentage of the lack materialkontaktarm reduced from 3.09% to 0.00%, flachdrahtspule reduced from 9.20% to 0.40%, and nietreduced from 7.71% to 2.73%. Besides, the implementation of QCC also resulted in positive impact for all the members of the team about the benefits and experiences gained

Pendahuluan
Perusahaan manufaktur yang menghasilkan kom- ponen circuit breaker mengalami permasalahan khususnya di departemen fabrikasi dengan terja- dinya kekurangan material pada saat produksi yang menyebabkan permintaan material tambahan Salah satu langkah yang diambil untuk mengatasi hal tersebut dengan meningkatkan sistem manajemen kualitas (Total Quality Management (TQM)) yang lebih baik. Keberadaan TQM adalah untuk memperkenalkan inti pokok dan philosofi utama yang lebih luas dari manajemen mutu, dimana Quality Control Circle (QCC) sebagai salah satu mekanisme pelaksanaannya (Asim [1[). Menurut Lee, untuk membentuk budaya kontrol kualitas secara total, organisasi harus menerapkan beberapa metode dasar kualitas kontrol dan perbaikan dalam berbagai aspek seperti fungsi organisasi dan sumber daya manusia. QCC adalah salah satu tools yang penting (Hu [5]).
Quality Control Circle atau Gugus Kendali Mutu adalah ketepatan yang digunakan dan metode yang diterapkan untuk menghindari ketidaksempurnaan dalam layanan daripada verifikasi dan eliminasi. Oleh karena itu sikap karyawan mempengaruhi kualitas. Hal ini mendorong partisipasi karyawan serta mem- promosikan kerja sama tim. Jadi memotivasi orang untuk berkontribusi terhadap efektivitas organisasi melalui proses kelompok (Gaikwad dan Gaikwad [3]).
1 Fakultas Teknonologi Industri, Jurusan Teknik Industri, Universitas Kristen Petra, Jl Siwalankerto 121-131Surabaya 60238. Email: togar@petra.ac.id
Diterima 18 Oktober 2011; revisi 15 November 2011; diterima untuk dipublikasikan 30 November 2011
Implementasi QCC untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan sehingga persentase ke- kurangan material selama proses produksi dapat diminimalkan.

Metode Penelitian
Total Quality Management (TQM)
Total Quality Manageme merupakan suatu strategi untuk mengimplementasikan dan mengelola akti- vitas perbaikan kualitas pada sebuah organisasi. TQM meliputi konsep dan ide yang luas, melibatkan partisipasi dari seluruh anggota organisasi dan budaya kerja, fokus terhadap konsumen, perbaikan kualitas, integrasi sistem dengan tujuan yang ingin dicapai, dan aktivitas-aktivitas lain dalam suatu organisasi yang difokuskan pada tujuan perbaikan kualitas.
Quality Control Circle (QCC)
Quality Control Circle atau Gugus Kendali Mutu (GKM) merupakan suatu kelompok kecil yang terdiri dari beberapa orang yang bekerja secarabersama-sama sebagai pelopor dalam menjaga dan melakukan perbaikan secara terus-menerus terha- dap kualitas produk, jasa, dan pekerjaannya (Nitta [9]). Menurut Summers, QCC bisa juga didefinisikan sebagai peningkatan kualitas atau perbaikan diri kelompok belajar terdiri dari sejumlah kecil karyawan, biasanya 10 atau kurang dan pengawas. Filosofi GKM telah diadaptasi dan dimodifikasi dari waktu ke waktu untuk memasukkan pemecahan masalah kegiatan tim. Para peserta, seringkali sukarela, menerima pelatihan dalam teknik peme- cahan masalah, seperti cause-and-effect diagram dancontrol charts, menentukan masalah yang tepat
101
Panjaitan, et al. / Minimalisasi Kekurangan Material melalui Implementasi QCC / JTI, Vol. 13, No. 2, Desember 2011, pp. 101–106
untuk bekerja, mengembangkan solusi dan mene- tapkan prosedur baru untuk peningkatan kualitas (Liu et al. [7]). Menurut Robson [10], Gugus Kendali Mutu adalah sebuah kelompok yang terdiri dari 4 – 10 orang yang bergabung secara sukarela dan bekerja di bawah pengawasan seorang supervisor serta mengadakan pertemuan secara teratur untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan masalah.
Penggunaan Metode Quality Control Story dan Plan-Do-Check-Act
Problem Solving Quality Control (QC) Story adalah metode yang digunakan untuk melakukan peme- cahan masalah dalam tim QCC serta mengorganisir informasi yang akan disajikan dalam laporan tentang hasil yang didapat dari upaya perbaikan kualitas atau kinerja (Katakura dan Toriumi[6]). MetodePlan-Do-Check-Act (P-D-C-A) merupakan sebuah model yang digunakan sebagai panduan untuk melakukan perbaikan. Metode QC Story dapat dipadukan penggunaannya dengan metode P- D-C-Asebagai langkah-langkah dalam melakukan problem solving. Penerapan QCC dalam sebuah per- usahaan memerlukan alat bantu dan teknik dalam melakukan pemecahan masalah. Secara umum, alat bantu yang digunakan pada penelitian ini meliputi
Seven Tools for Quality Control dan Seven Management Tools for Quality ControlSeven Tools for Quality Control dan Seven Management Tools for Quality Control dapat saling melengkapi dalam menyelesaikan berbagai masalah kualitas secara efektif (Nayatani, et al. [8]).
Hasil dan Pembahasan
Pembentukan QCC
Pembentukan tim QCC merupakan salah satu program kerja dari Departemen Quality Control (QC) dan Change Management (CM)Peran serta tim QCC direalisasikan dalam aktivitas yang menunjang sistem manajemen kualitas, penyelesai- an masalah di tempat kerja, dan memperbaiki kondisi lingkungan kerja yang meliputi sistem, permasalahan, dan kondisi dari semua departemen yang berpotensi untuk diperbaiki. Proses persiapan untuk aktivitas tim QCC ini dibuat dengan mengacu pada berbagai referensi dan pemikiran bersama, disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, dan ditetapkan melalui diskusi dan persetujuan Manajer Departemen QC dan CM sebagai penanggung jawab program.
Pengembangan Aktivitas QCC
Sebelum tim QCC memulai proyek, terlebih dahulu dilakukan pemberian materi atau training meliputi
Seven Tools for Quality Control dan Seven Mana- gement Tools for Quality Control dan dievaluasi dengan memberikan kesempatan terlibat langsung dalam proyek QCC yang dievaluasi pada akhir pilot project. Pada sebuah organisasi, pembagian tugas atau pekerjaan dapat dilakukan berdasarkan spe- sialisasi potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu (Gibson, et al. [4]).
Implementasi QCC
Berikut ini adalah penjelasan mengenai proyek yang dilakukan oleh Tim Barakuda 1.
Plan:
Pemilihan Topik dan Alasannya
Penentuan topik masalah ditetapkan melalui diskusi dan menghasilkan tiga alternatif permasa- lahan yang akan dibahas yang dilanjutkan menen- tukan permasalahan yang akan dibahas terlebih dahulu sebagai pilot project. Proses pemilihan topik permasalahan dilakukan dengan prioritization matrices dan Nominal Group Technique (NGT). Penggunaan prioritization matrices (Tabel 1) cocok diimplementasikan untuk pengambilan keputusan yang bersifat verbal dan tidak didukung dengan tersedianya data yang bersifat numerik. Penentuan kriteria melalui kesepakatan seluruh anggota, yaitu kemudahan implementasi, kecepatan mencapai hasil, dan biaya. Selanjutnya tiap anggota mem- berikan bobot terhadap setiap kriteria. Nilai atau bobot paling kecil diberikan pada faktor yang kurang penting dan nilai atau bobot paling besar diberikan pada faktor yang paling penting. Permasalahan yang memiliki nilai tertinggi akan menjadi proyek yang dipilih (Besterfield[2]). Total bobot yang di- berikan olehmasing-masing anggota harus bernilai 1 dan bobot yang diberikan dirata-rata untuk men- dapatkan bobot tiap kriteria. Langkah selanjutnya adalah memberikan peringkat terhadap permasalah- an yang ada berdasarkan hubungannya dengan tiap kriteria.

Simpulan
Proyek QCC yang diimplementasikan oleh Tim Barakuda 1 berhasil meminimalkan persentase ke- kurangan material yang terjadi selama proses produksi circuit protection and control tipe 8340. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari penurunan persentase kekurangan tiga jenis material yang
dijadikan target pada proyek ini. Persentase ke- kurangan material flachdrahtspule mengalami penurunan dari 9,20% menjadi 0,40%, kontaktarmmengalami penurunan dari 3,09% menjadi 0%, danniet mengalami penurunan dari 7,71% menjadi 2,73%, dan persentase kekurangan material masih berada di bawah 3%. Hal tersebut berarti hasil penimbangan material akurat sesuai dengan nilai toleransi yang ditetapkan dan kehilangan selama proses produksi juga dapat diminimalkan. Upaya yang dilakukan untuk menjaga hasil penurunan persentase material agar tidak kembali ke kondisi semula adalah dengan melakukan penambahan prosedur kerja dan melakukan sidak secara berkala ke lantai produksi.
Daftar Pustaka
1.Asim, M., Adopting Quality Management Concepts in Public Service Reform, Labour and Management in Development Journal, 2(6), 2001, Asia Pasific Press.
2.Besterfield, D. H., Besterfield, C., Besterfield, G. H., and Besterfield, M., Total Quality Management, 3rd ed. New York: Pearson Education Inc, 2003.
3.Gaikwad, V. V., and Gaikwad, A. V., Quality Circle as an Effective Management Tool : A Case Study of Indira College of Engineering and Management Library, Proceeding of Interna- tional Conference on Academic Libraries (ICAL- 2009), New Delhi, India
4.Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., and Donnelly, J. H., Organizations: Behavior, Structure, Processes
10th ed. McGraw Hill, 2000.
5.Hu, T. C., Quality Improvement: Reducing Real - Time Inventory Errors through Quality Control Circles, African Journal of Business Manage- ment, 5(26), 2011, pp. 10657-10666.
6.Katakura, M., and Toriumi, K., The QC Problem Solving ApproachText of QC methods, Paper presented at Program for Quality Management Promotion hold by The Association for Overseas Technical Scholarship, Japan, 2010.
7.Liu, S. C., Wu, H. H., and Chen, H. K., Improving Organizational Performance by a Quality Con- trol Circle: A Case of Medication Improvement Team at a Hospital in Taiwan, Information Technology Journal, 9, 2010, pp. 692-697.
8.Nayatani, Y., Eiga, T., Futami, R., and Miyagawa, H., The Seven New QC Tools: Practical Applications for Managers, J. H. Loftus, Trans. Japan: JUSE Press Ltd, 2010.
9.Nitta, T., Basic for Promoting QC Circle Activities. Presented at Program for Quality Management Promotion Hold by the Association for Overseas Technical Scholarship, Japan, 2010.
10.Robson, M., Gugus Kendali Mutu, Alex Sindoro, 




PERANCANGAN FASILITAS PABRIK TAHU UNTUK MEMINIMALISASI MATERIAL HANDLING

PERANCANGAN FASILITAS PABRIK TAHU UNTUK
MEMINIMALISASI MATERIAL HANDLING

MERRY SISKA DAN HENRIADI
Teknik Industri, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru

ABSTRAK

UD. Dhika Putra merupakan perusahaan yang bergerak dalam pembuatan tahu. Saat ini kondisi layout fasilitas produksi dan kondisi fisik lingkungan kerja di perusahaan mengalami kendala. Penelitian ini bertujuan untuk merancang ulang tata letak fasilitas pabrik pembuatan tahu yang dapat meminimalkan panjang lintasan material handling serta menerapkan metode 5S untuk meningkatkan produktivitas kerja. Pendekatan yang digunakan pada perancangan ulang
tata letak fasilitas pabrik adalah dengan menggunakan pendekatan Systematic Layout Planning (SLP) yang dapat dikategorikan ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap analisis aliran material, tahap penelitian dan tahap proses seleksi. Sedangkan metode 5S terdiri dari beberapa tahapan untuk mengatur kondisi tempat kerja yang berdampak terhadap efektivitas kerja, efisiensi, produktivitas dan keselamatan kerja. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa layout usulan
yang terpilih untuk dijadikan layout akhir dalam penelitian ini menunjukkan penurunan panjang lintasan material handling yang cukup signifikan yaitu 45 m atau sekitar 19,2% lebih pendek dari layout awal. Berkurangnya panjang aliran material handling layout yang terpilih juga dipengaruhi karena penataan lingkungan kerja dengan metode 5S.

PENDAHULUAN

Hadiguna dan Setiawan (2008) mendefinisikan tata letak sebagai kumpulan unsur-unsur fisik yang diatur mengikuti aturan atau logika tertentu. Sistim material handling yang kurang sistimatis menjadi masalah yang cukup besar dan mengganggu kelancaran proses produksi sehingga mempengaruhi sistim secara keseluruhan. Menurut Wignjosoebroto (2009), tata letak yang baik adalah tata letak yang dapat menangani sistim material handling secara
menyeluruh sedangkan Purnomo (2004) menyebutkan tata letak fasilitas yang dirancang dengan baik pada umumnya akan memberikan kontribusi yang positif dalam optimalisasi proses operasi perusahaan dan pada akhirnya akan menjaga kelangsungan hidup perusahaan serta keberhasilan perusahaan.

UD. Dhika Putra merupakan sebuah home industry yang bergerak dalam pembuatan tahu. UD. Dhika Putra berdiri sejak tahun 2003, terletak di Jalan Sukajadi, Desa Tarai Bangun Kubang Raya Kabupaten Kampar. Saat ini kondisi layout fasilitas produksi dan kondisi fisik lingkungan kerja di perusahaan mengalami kendala. Kondisi layout fasilitas produksi di perusahaan mengalami kendala dalam hal jarak pemindahan bahan baku (material handling) yang kurang efisien. Dimana dalam proses produksinya terdapat aliran pemindahan bahan yang berpotongan (cross movement) dikarenakan tata letak mesin yang kurang teratur sehingga dapat mengakibatkan proses produksi terganggu. Jarak antar departemen produksi yang cukup jauh menimbulkan ongkos material handling yang cukup besar. Selain itu hubungan kedekatan antar stasiun kerja kurang diperhatikan sehingga membuat aliran material handling menjadi kurang optimal. Belum tersedianya parkir dan area penimbunan bahan baku juga ikut menjadi kendala pada perusahaan ini.


METODE

Perbaikan kondisi lingkungan kerja pada pabrik ini dapat dilakukan dengan menerapkan metode 5S. 5S adalah prinsip yang paling mudah dipahami, prinsip ini memungkinkan untuk memperoleh partisipasi secara total. Merujuk kepada pendapat seorang pakar bahwa tidak akan berhasil bila 5S tidak diterapkan, sebaliknya keuntungan yang diperoleh bila dengan menerapkan 5S akan terlihat dengan jelas, diantaranya terciptanya keteraturan melalui manajemen lingkungan kerja yang baik. Menurut Linstiani (2010) penjabaran dari metode “5S”.
Sedangkan tahapan pengolahan data untuk penerapan 5S menurut Osada (2004) adalah sebagai berikut:
1. Perancangan Metode 5S
Tahap ini merupakan tahap paling awal dari penerapan metode 5S, pada tahap ini dilakukan perancangan metode 5S. Maksud perancangan disini adalah lebih kepada perencanaan apa saja yang akan dilakukan nantinya pada tahap penerapan. Misalnya saja menentukan lokasi yang dianggap bermasalah, menentukan peralatan apa saja yang perlu diterapkan metode 5S ini serta bagaimana cara untuk menanggulanginya.
2. Sosialisasi Metode 5S
Tahap sosialisasi ini adalah tahapan selanjutnya setelah perancangan dilakukan. Pada tahap ini melalui bantuan dari pimpinan perusahaan dilakukan sosialisasi kepada semua karyawan mengenai penerapan metode 5S yang akan dilakukan. Semua karyawan diberikan penjelasan tentang pengertian, tujuan serta manfaat dari metode 5S. Selain itu juga diberikan sosialisasi tentang rancangan metode 5S yang telah dibuat.
3. Penerapan Metode 5S
Tahapan ini merupakan proses penerapan yang akan dilakukan setelah dilakukan proses perancangan dan sosialisasi 5S. Tahapan ini dilakukan untuk merelisiasikan perancangan metode 5S yang telah dibuat ada 5 aspek yang akan diterapkan yaitu seiri, seiton, seiso, seiketsu, dan shitsuke.
4. Evaluasi Penerapan Metode 5S
Pada tahap ini dilakukan proses evaluasi terhadap penerapan yang telah dilakukan.

Tahapan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan 5S yang telah dilakukan pada pabrik tahu UD. Dhika Putra. Dari evaluasi ini nantinya bisa diketahui apa saja yang telah diterapkan dan apa saja yang menjadi kendala pada penerapan metode ini dan pada tahap evaluasi ini juga dilakukan proses pengecekan kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan tabel evaluasi kegiatan.
Setelah selesai tahapan-tahapan di atas maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah membuat layout akhir berdasarkan kombinasi antara alternatif tata letak terbaik dan perancangan metode 5S.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan Metode 5S
Pada tahap ini barulah metode 5S diterapkan pada lingkungan kerja pembuatan tahu UD. Dhika Putra.

1. Seiri
Metode seiri banyak diterapkan pada stasiun perendaman dan penggilingan serta pada area gudang bahan jadi, karena pada kedua departemen
ini terlihat jelas banyaknya ember yang berserakan di lantai. Ember-ember ini terdiri dari ember yang berisi kedelai maupun yang berisi tahu yang sudah jadi dan ember yang kosong, sementara ember yang kosong ini tidak diperlukan dalam stasiun perendaman dan penggilingan serta pada gudang bahan jadi. Ember- ember yang kosong ini membuat lantai menjadi penuh sehingga tidak ada ruangan untuk pekerja untuk melakukan proses perendaman dan penggilingan. Melihat keadaan tersebut maka diterapkan seiri yaitu dengan melakukan pemilahan terhadap ember-ember yang tidak diperlukan atau ember yang kosong dan menyimpannya pada area diluar area gudang bahan jadi serta pada stasiun perendaman dan penggilingan. Dari hasil pemilahan ini maka diperoleh keadaan lantai terlihat lebih memiliki ruangan sehingga pekerja lebih leluasa untuk melakukan pekerjaannya terutama pada proses material handling pemindahan kedelai yang sudah digiling menuju stasiun perebusan sehingga seringkali jarak pemindahan menjadi jauh karena pekerja harus melewati area yang kosong yang tidak terhalang oleh ember-ember yang berserakan pada stasiun perendaman dan penggilingan.
2. Seiton
Seiton merupakan S yang kedua dari metode 5S. Pada tahap ini merupakan kelanjutan dari seiri, dimana dari hasil pemilahan yang telah dilakukan akan dilanjutkan dengan proses penataan peralatan yang telah dipilah tersebut. Misalnya ember-ember yang ada pada stasiun perendaman dan penggilingan ditata pada area ember kosong tepatnya disamping gudang bahan jadi. Begitu juga dengan ember kosong yang bercampur pada gudang bahan jadi juga disusun pada area ember kosong. Selain penataan posisi ember, pada pabrik ini juga dilakukan penataan terhadap kain blacu yaitu kain untuk proses penyaringan ampas tahu dan juga penataan terhadap posisi alat press. Kain blacu digantung pada satu tempat saja sehingga pekerja lebih mudah untuk mencari dan mengambilnya apabila dibutuhkan. Sedangkan untuk alat press disusun pada stasiun pengepresan dan pemotongan, alat press tersebut disusun diatas meja press dan potong sehingga pekerja lebih mudah mengambil dan menggunakannya.

3. Seiso
Pada tahap ini hal yang dilakukan adalah proses pembersihan. Adapun pembersihan yang dilakukan adalah pembersihan terhadap lantai produksi dan peralatan yang digunakan untuk proses produksi pembuatan tahu yaitu mesin giling dan kuali perebusan dan pembibitan. Lantai pabrik dibersihkan dari sampah-sampah baik itu sampah plastik, kedelai yang terjatuh dan cairan sisa pencucian dan penggilingan kedelai. Pembersihan lantai produksi ini bertujuan demi keamanan dan kenyaman pekerja pada saat melakukan pekerjaannya, karena jika lantai licin dan kotor bisa membuat pekerja tergelincir dan jatuh. Sedangkan untuk pembersihan peralatan kerja dilakukan dengan tujuan perawatan terhadap peralatan tersebut.

4. Seiketsu
Pada tahap ini lebih mengarah pada proses pemantapan terhadap metode 5S yang telah diterapkan. Pada tahap ini dilakukan suatu upaya bagaimana penerapan yang telah dilakukan tetap berlangsung terus menerus bukan untuk sementara saja dengan cara pembuatan label area kerja seperti area bahan baku, area bahan jadi, tempat ember kosong dan tempat kain blacu. Selain itu juga dilakukan pembuatan garis batas area kerja yang bertujuan agar penyusunan peralatan kerja lebih tertata dengan baik. Dengan adanya pembuatan labeling dan garis batas area kerja bisa membuat karyawan mengetahui dimana penempatan peralatan yang digunakan dan mengetahui batas areanya, sehingga penerapan ini bisa berlangsung terus menerus.

5. Shitsuke
Tahap ini merupakan bagian terakhir dari metode 5S. Pada bagian ini lebih memfokuskan bagaimana cara untuk membiasakan diri terhadap penerapan metode ini. untuk itu diperlukan kesadaran dari para pekerja untuk memiliki pola kerja yang sesuai metode 5S demi kenyamanan dan keamaan dalam bekerja. Mengingat sifat manusia yang berbeda-beda maka perlu seseorang yang bisa mengontrolnya. Dalam hal ini peran pimpinan dibutuhkan untuk peduli dan mampu mengontrol pekerja agar selalu menjaga lingkungan kerja berdasarkan metode 5S yang telah diterapkan.

SIMPULAN

Rancangan ulang tata letak dan fasilitas pabrik pembuatan tahu UD. Dhika Putra yang terpilih adalah layout alternatif 1 yang memiliki panjang lintasan material handling 45 m, hasil ini lebih efisien 19.21% jika dibandingkan dengan panjang aliran material handling layout awal yaitu 55,7 m dan layout usulan alternatif 2 sepanjang 49 m. Penelitian ini berhasil menerapkan metode 5S di UD. Dhika Putra yang dapat dilihat pada Tabel 3, misalnya pemilahan ember-ember kosong yang berada pada area gudang bahan jadi maupun pada stasiun perendamaan dan penggilingan, diterapkannya penataan peralatan pada area yang telah ditentukan, penerapan kegiatan pembersihan lantai produksi dan peralatan, serta pemberian label dan batas peralatan dan area kerja. Melalui penerapan metode 5S ini kondisi fisik lingkungan kerja di pabrik tahu lebih tertata rapi dan berpengaruh pada kenyamanan pekerja.

DAFTAR PUSTAKA
Apple J. M., 1990. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. Edisi ketiga. ITB. Bandung.
Hadiguna, R. A., dan Setiawan, H., 2008. Tata Letak Pabrik.
Andi. Yogyakarta.
Listiani T., 2010. Penerapan Konsep 5S alam Upaya Menciptakan Lingkungan Kerja yang Ergonomis di STIA LAN Bandung. Jurnal Ilmu Administrasi, VII (3), Bandung.
Osada, T., 2004. Sikap Kerja 5S. Cetakan Kelima. PPM. Jakarta.
Purnomo, H., 2004. Perencanaan dan Perancangan Fasilitas.
Cetakan Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Wignjosoebroto, S., 2009. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. Edisi ketiga. Guna Widya. Surabaya.

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/industri/article/viewFile/1177/1273




DESAIN KEMASAN KARUNG YANG OPTIMALUNTUK PENGEMAS BAHAN CURAH


DESAIN KEMASAN KARUNG YANG OPTIMALUNTUK PENGEMAS BAHAN CURAH

Lusi Zafriana
Fakultas Teknik Industri Universitas Kartini (UNKAR) Surabaya
ABSTRAK
Banyak material dalam jumlah besar seperti semen, garam, dan berbagai produk konsumsi primer menggunakan pengemasan tas plastik dari polypropylene. Karena ukuran pengemasan sangat bergantung pada kerapian jenis material, maka diperlukan optimalisasi desain dari ukuran ukuran tas plastik berdasarkan jenis material (kerapatan jumlah besar) dan bobot kerapian produk. Aplikasi algoritma matematik sederhana, di mana ukuran volume karung akan dirubah menjadi bobot jumlah material, maka optimisasi dari panjang dan lebar karung akan sesuai dengan berat jenis material yang diisikan ke dalam pengemasan dapat ditentukan. Menggunakan metode trial error, nilai l (lebar) dan p (panjang) tas plastik, maka dapat diperkirakan tas plastic dapat menampung material seberat m kilogram


 PENDAHULUAN
Bahan-bahan curah di sekitar kita, seperti beras, garam hingga bahan-bahan seperti semen, dan lain-lain biasa dikemas dalam wadah karung plastik. Karung plastik ini biasanya dibuat dari bahan  polipropilen, yaitu sejenis polimer yang tersusun atas monomer-monomer propilen. Karung dari bahan ini bisa dibuat dalam bentuk karung film ataupun karung woven (anyaman).
Ukuran karung woven yang sesuai akan sangat tergantung pada jenis bahan curah yang akan diisikan ke dalamnya. Untuk berat yang sama (misalnya25 kg), bahan curah dengan bulk density 0,5 g/cc misalnya akan memerlukan ukuran karung yang lebih besar dibandingkan untuk bahan curah dengan bulk density 0,8 g/cc. Pada umumnya yang terjadi di dunia praktek, komunikasi antara konsumen dan produsen terkait dimensi karung ini tidak begitu jelas, yaitu hanya berdasarkan pengalaman. Sebagai contoh ukuran karung untuk kemasan beras 15 kg ialah 42 × 68 cm. Untuk bahan lain di mana ukuran yang sesuai belum diketahui, pihak produsen biasanya akan mencoba-coba berbagai ukuran terlebih dahulu sebelum bisa menetapkan ukuran yang sesuai. Hal ini tentu saja tidak praktis.
Pada penelitian ini akan diungkap suatu cara untuk menghitung dimensi karung yang optimal disesuaikan dengan jenis bahan yang akan diisikan. Dalam hal ini bulk density dari bahan akan menjadi penentu dimensi tersebut. Dengan rumusan yang diperoleh maka penetapan ukuran karung untuk kemasan bahan curah tertentu, di mana selama ini belum diketahui ukuran karungnya, bisa dilakukan secara mudah dan cepat.

METODE
Dalam mendesain kemasan karung yangoptimal, maka dibutuhkan rumus perhitungan dimensi karung. Yang menyebabkan penentuan dimensi karung menjadi sulit ialah karena karung hanya punya dua ukuran, yaitu lebar dan panjang saja. Tidak ada parameter tebal karung, sehingga volume karung tidak bisa dihitung dengan rumus volume biasa.
Dengan mengabaikan volume di luar bentukan balok (di bawah/atas tekukan), maka volume karung
V bisa dihitung secara sederhana sbb:

V = tebal × panjang × lebar = x(p–x)(l–x) ........ (1)

Jika rasio lebar terhadap tebal karung setelah diisi bahan ialah R (jadi R=l/x)
Didapatkan rumus volum karung:
Didapatkan rumus volum karung:
V
=
l2(R–1)(R pl)

............................................(2)
R3


HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah V dan R dihitung, masih dibutuhkan bulk density bahan yang akan dikemas. Produsen karung perlu mengidentifikasi berapa kg berat satu liter bahan tersebut, sehingga: Bulk density, Bd = berat (kg) dari 1 liter bahan. Bulk density dalam kasus ini bisa dianalogkan dengan volume alat transpor material handling sebagaimana logika perhitungan Vosniakos (1989).
Dengan rumus yang diperoleh, dicoba-coba nilai l dan p sedemikian sehingga karung akan mampu memuat bahan seberat m kg. Sebagai contoh, bila diinginkan mendisain karung untuk mengemas beras kering 20 kg dengan Bd ≈ 0,8 kg/liter, maka menggunakan Algoritma pada Gambar 4, diperoleh hasil perhitungan seperti terlihat pada Gambar 5, di mana karung dengan lebar 43 cm dan panjang 75 cm cukup untuk mengemas beras 20 kg.

SIMPULAN
Dimensi karung (lebar dan panjang) yang sesuai sebagai pengemas suatu bahan dengan berat tertentu bisa ditentukan dengan perhitungan matematis dengan menghitung nilai volume bahan (p × l) yang akan dikemas dan disesuaikan dengan bulk density dari bahan yang dikemas untuk menentukan berat optimal yang bisa dimuat karung tersebut. Dengan perhitungan volume (p × l) yang dikonversikan pada ukuran berat maksimal yang bisa ditampung karung, maka desain kemasan karung yang dibuat akan mampu mengakomodasi volume maksimal tanpa merusak karung akibat beban berlebih.

DAFTAR PUSTAKA
Stewart, J. 2000. Kalkulus Universitas, Balai Pustaka, Jakarta.
Taha, H.A. 1996. Operations Research: An Introduction, sixth Edition, Prentice Hall, New York.
Tri Polyta Indonesia, Tbk. 2008. Buku Saku Plastik, Klaten.
Vosniakos CC, Davies BJ. 1989. On the path layout and operation of an AGV system serving an FMS. The International Journal of Advanced Manufacturing Technology; 4: 24–362.
Y. Pochet and L.A. Wolsey. 1993. Lot sizing with constant batches: Formulation and valid inequalities, Mathematics of Operations Research 18, 767–785.



PENGOLAHAN SAMPAH KOTA TERSELEKSI MENJADI REFUSED DERIVED FUEL SEBAGAI BAHAN BAKAR PADAT ALTERNATIF


PENGOLAHAN SAMPAH KOTA TERSELEKSI MENJADI REFUSED DERIVED FUEL SEBAGAI BAHAN BAKAR PADAT ALTERNATIF

 DwiAriesHimawanto,1 R. DhimasDhewanggaP,3 Indarto,2 HarwinSaptoadi,2 danTriAgungRohmat2

 ABSTRAK
Limbah Padat Kota (LMK) memiliki potensi besar sebagai bahan baku terbarukan untuk menghasilkan energi modern melalui termokimia yang disebut pyrolyis, dan proses densifikasi untuk membentuk. Refused Derived Fuels (RDF), yaitu LMK briket char. Pada artikel ini, analisis termogravimetri dilakukan untuk menganalisis karakteristik pembakaran briket dari briket LMK dan briket LMK char. Sampel dalam penelitian ini adalah 70% berat komponen organik LMK -30% berat LMK komponen non organik. Sampel 20 gram ditempatkan dalam tungku yang temperaturnya meningkat 10° C/min dan sampai suhu sampel mencapai 400° C dan ditahan selama 30 menit sebelum sampel didinginkan hingga mencapai suhu kamar. 100 ml/menit nitrogen diperlihatkan dari bagian bawah tungku sebagai gas yang terbuang. Char yang sudah terbentuk dipadatkan dan kemudian ditandai dalam keseimbangan makro produksi, diadopsi dari Swithenbank et al. Sampel 3 gram ditempatkan dalam tungku yang temperaturnya meningkat dengan laju pemanasan yang dipilih sampai massa sampel hampir konstan. Penelitian menunjukkan bahwa efek pirolisis memberikan peningkatan nilai sampel pemanasan dan memberikan suhu pengapian lebih rendah dari char briket pembakaran

 PENDAHULUAN
Sampah merupakan bahan yang terbuang dari hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang tidak memiliki nilai ekonomi lagi, bahkan dapat menimbulkan dampak yang negatif. Selama ini sampah kota menjadi salah satu masalah lingkungan yang memerlukan penanganan yang sangat serius. Masalah yang sering muncul dalam penanganan sampah kota yang terus bertambah jumlahnya adalah biaya operasional yang tinggi dan semakin sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan, sehingga dalam penanganan sampah kota sering menimbulkan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Pada umumnya, sampah dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu sampah organik dan anorganik. Selama ini penanganan sampah kota di negara-negara berkembang seperti Indonesia hanya menimbun dan membakar langsung sampah di udara terbuka pada TPA (tempat pembuangan akhir). Hal ini juga tidak bisa mengurangi 100% sampah dan akan menimbulkan permasalahan yaitu produksi yang dihasilkan zat-zat polutan yang dapat mencemari lingkungan yaitu gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx, SO2, dan lain-lain.
Estimasi jumlah timbunan sampah di Indonesia pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 38,5 juta ton/tahun dengan komposisi terbesar adalah sampah organik (58%), sampah plastik (14%), sampah kertas (9%) dan sampah kayu (4%). (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008). Teknologi untuk menangani sampah sebenarnya telah banyak dikembangkan terutama oleh negara-negara maju yaitu di antaranya teknologi sanitary landfill, incineration, gasification, dan anaerobic digestion. Salah satu cara pengolahan sampah yang dipandang cukup prospektif dilakukan adalah mengolah sampah kota menjadi RDF (Refused Derived Fuel), yaitu mengolah sampah kota menjadi char/arang melalui proses pirolisis dan kemudian memadatkannya sehingga menjadi briket char
Pengolahan sampah kota menjadi RDF dalam bentuk briket char telah diteliti oleh beberapa peneliti, dan tampak bahwa karakteristik pirolisis sampah kota dan pembakaran RDF sangat tergantung pada jenis sampel yang diteliti. Oleh karena itu, maka dalam artikel ini akan disajikan hasil penelitian mengenai pengolahan sampah kota. terseleksi menjadi RDF, dengan menggunakan sampel dari beberapa jenis sampah yang banyak dijumpai di Indonesia dan belum terolah secara maksimal.
METODE
Bahan Penelitian
Bahan dalam penelitian ini adalah sampah kota yang terdiri atas 70 % (berat) sampah organik (yang terdiri dari sampah daun pisang dan sampah bambu) dan 30% (berat) sampah non organik (yang meliputi sampah kemasan dan sampah styrofoam). Pemilihan komposisi sampel penelitian didasarkan pada estimasi komposisi timbulan sampah yang ada saat ini.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas peralatan uji pirolisis yang sekaligus dapat berfungsi sebagai peralatan uji pembakaran. Peralatan uji pirolisis bertipe packed bed pyrolizer, yang diadaptasi dari penelitian Swithenbank et al. (2005), yang terdiri atas tungku pemanas yang dilengkapi dengan thermocontroller dengan pembacaan temperatur sampai dengan 1000° C dan reaktor untuk proses pirolisis dengan berdiameter 96 mm tinggi 500 mm. Reaktor pirolisis tersebut dialiri gas nitrogen dari bawah reaktor. Gas nitrogen berasal dari tabung yang dilengkapi dengan pressure gauge dan rotameter guna mengatur laju aliran nitrogen. Sedangkan pada bagian atas tabung reaktor terdapat saluran untuk mengalirkan gas hasil pirolisis ke sistem pendingin. Untuk mengukur pengurangan massa sampel yang terjadi selama proses pirolisis, maka pada bagian tutup reaktor diberikan lubang berdiameter 5mm untuk peletakan kawat yang menghubungkan sampel dengan timbangan digital. Untuk melakukan uji pembakaran, maka aliran gas nitrogen diganti menjadi aliran udara dari blower.
Cara Pengambilan Data
Langkah pertama dalam penelitian ini adalah pengumpulan dan penyiapan bahan baku. Bahan baku yang dikumpulkan adalah sampah kota yang terdiri atas sampah kemasan, sampah yang berbahan baku biomass (daun pisang dan bambu), dan sampah Styrofoam Sampel kemudian dikeringkan sehingga memiliki kadar air maksimal 10%. Dan dihaluskan hingga lolos ukuran 20 mesh. Setelah bahan baku terkumpul maka bahan baku yang berupa sampah organik dan sampah plastik tersebut diuji secara proximate dan uji nilai kalor, pengujian meliputi nilai kalor (heating value) sesuai standar ASTM 2015, kadar air dengan standar pengujian ASTM D-3173, kadar abu sesuai dengan standar pengujian ASTM D-3174, kandungan volatile matter dengan standard ASTM D-3175 dan kadar fixed carbon sesuai dengan standar pengujian ASTM D-3172.
Uji karateristik pembakaran briket char sampah kota menggunakan metode thermogravimetri ,untuk mengetahui karakteristik bahan bakar yang diuji (meliputi temperatur pembakaran di mana massa briket mulai berkurang (volatile matter initiationtemperatur (ITVM)), temperatur ruang bakar di mana laju pengurangan massa meningkat selama proses awal pembakaran (fixed carbon initiation temperature (ITFC)), temperatur ruang bakar yang menghasilkan laju penurunan massa briket terbesar (peak temperature (PT)) dan temperatur ruang bakar di mana massa briket konstan pada akhir tahap pembakaran (burning temperature (BT)) , metode ini dilakukan dengan cara menaikkan temperatur ruang bakar dari temperatur kamar secara bertahap dengan besar kenaikan konstan tiap waktu (direncanakan kenaikan temperatur 20° C/menit) sampai sampel bahan bakar terbakar habis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Proksimat Bahan Baku
Dari hasil uji proksimat, tampak bahwa komponen non organik memiliki nilai kalor yang tinggi, namun disisi lain, disadari melakukan pembakaran secara langsung terhadap komponen-komponen tersebut akan membawa dampak buruk bagi lingkungan
Penentuan Energy Recovery Proses Pirolisis
Menentukan, komposisi dan teknologi slow pyrolisis yang tepat guna menghasilkan char yang optimum maka perlu mempertimbangkan banyak hal, disebabkan proses slow pyrolisis dapat menghasilkan char dengan nilai kalor yang relatif tinggi namun pengurangan massa akibat proses pirolisis juga cukup besar, sehingga perlu optimasi di antara keduanya, dan juga perlu dipertimbangkan pula pasokan energi yang diperlukan untuk menghasilkan char tersebut. Oleh karena itu dalam menentukan teknologi proses yang tepat digunakan satu besaran yaitu energy yield, yaitu banyaknya energi yang dapat diselamatkan (energy recovery) selama proses pirolisis (Swithenbank (2005), dengan rumusan perbandingan antara nilai kalor char yang dihasilkan dan nilai kalor bahan baku dikalikan dengan massa char yang tersisa setelah proses pirolisis. Hasil penelitian, didapatkan bahwa massa char yang tersisa setelah proses pirolisis adalah sebesar 29,49%, sementara nilai kalor char yang dihasilkan sebesar 5.527,846 kal/gram dan nilai kalor briket sampah kota adalah sebesar 5460,68 sehingga energy yield proses pirolisis yang diteliti adalah sebesar 29,13%.
Karakteristik Pembakaran Briket Char
Karakteristik pembakaran briket char hasil pirolisis campuran dengan komposisi organik-anorganik 70–30 ditampilakan pada gambar 4. Dari gambar tersebut, tampak bahwa pembagian zona pengeringan dan devolatilisasi tidak begitu jelas terlihat, hal inilah yang membedakan dengan pembakaran briket tanpa perlakuan pirolisis. Dari gambar tersebut, tampak bahwa ITVM terjadi pada temperatur 197,5˚ C , ITFC pada temperatur 298,8˚C, sementara PT terjadi pada temperatur 429,5˚ C.Data yang didapatkan, terlihat bahwa proses pembakaran briket char terjadi pada ITVM dan ITFC yang lebih rendah bila dibandingkan dengan briket tanpa pirolisis, hal ini menunjukkan bahwa briket char lebih mudah dibakar bila dibandingkan dengan briket tanpa perlakukan pirolisis. Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah briket char memiliki PT yang terjadi pada temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan briket tanpa perlakuan pirolisis, hal ini menunjukkan bahwa briket char memiliki kecepatan pengurangan massa yang lebih rendah daripada briket tanpa pirolisis.
SIMPULAN
Hasil pengambilan dan pengolahan data dapat disimpulkan bahwa proses pirolisis terhadap sampel sampah kota dengan komposisi 70% organik – 30% non organik akan menghasilkan massa char yang tersisa setelah proses pirolisis sebesar 29,49%, dengan nilai kalor char yang dihasilkan sebesar 5.527,846 kal/gram, sehingga energy yield proses pirolisis yang diteliti adalah sebesar 29,13%. Sementara itu, proses pembakaran briket char sampel yang diteliti terjadi pada ITVM dan ITFC yang lebih rendah daripada briket non pirolisis, namun penurunan massa maksimum terjadi pada temperatur yang lebih besar, sehingga dapat disimpulkan briket char yang diteliti lebih mudah terbakar namun lebih awet dalam pembakaran.


DAFTAR PUSTAKA
Borman, G.L., Ragland, K.W. 1998. Combustion Engineering, International Editions. WCB/McGraw-Hill, Singapore.
Cheng, Z., Chen, H., Zhang, Y., Hack, P., Pan, W.P., 2007. An Application of Thermal Analysis to Household Waste. Journal of ASTM International Vol, 4 No. 1., Paper ID: JAI100523.
Di Blasi, C. 2008. Modeling Chemical and Physical Processes of Wood and Biomass Pyrolisis. Progress in Energy and Combustion Science 34, pp. 47–99.
Grammelis, P., Basinas, P., Malliopoulou, A., Sakellaropoulos, G. 2009. Pyrolisis Kinetics and Combustion Characteristics of Waste Recovered Fuels. Fuel 88, pp. 195–205.
Ojolo, S.J., Bamgboye, A.I. 2005. Thermochemical conversion of Municipal Solid Waste to Produce Fuel and Reduce Waste. The CIGR Ejournal, Vol. VII, Manuscript EE 05 006.
Phan, A.N., Ryu, C., Sharifi, V.N., Swithenbank, J. 2008. Characterisation of Slow Pyrolisis Products from Segregated Wastes for Energy Production. J.Anal.Appl.Pyrolisis 81, pp. 65–71.
Yang, Y.B., Phan, A.N., Ryu, C., Sharifi, V.N., Swithenbank, J. 2007. Mathematical Modelling of Slow Pyrolisis of Segregated Solid Wastes in a Packed-Bed Pyrolyser. Fuel 86, 169–180.
Swithenbank, J., Sharifi, V.N., Ryu, C. 2005. Waste Pyrolisis and Generation of Storable Fuel, SUWIC Department of Chemical and Process Engineering. The University of Sheffield.
Turn, Stephen R. 1996. An Introduction to Combustion.McGraw-Hill.
Yang, Y.B., Phan, A.N., Ryu, C.,Sharifi, V.,Swithenbank, J. 2007. Mathematical Modelling of Slow Pyrolisis of Segregated Solid Waste in A Packed-Bed Pyroliser, Fuel 86, pp. 169–180.


ALOKASI PASOKAN BERDASARKAN PRODUK UNGGULAN UNTUK RANTAI PASOK SAYURAN SEGAR

ALOKASI PASOKAN BERDASARKAN PRODUK UNGGULAN
UNTUK RANTAI PASOK SAYURAN SEGAR

Rika Ampuh Hadiguna
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik ,Universitas Andalas Padang
Marimin
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK
Penerapan kecerdasan buatan dengan logika fuzzy bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi situasi rantai pasok dalam lingkungan ketidakpastian. Perhatian yang lebih luas untuk pembahasan rantai pasok menggunakan teknik fuzzy masih sangat dibutuhkan. Studi ini bertujuan menerapkan logika fuzzy dalam penentuan alokasi pasokan untuk produk unggulan pada rantai pasok agroindustri sayuran. Model yang terdiri dari tiga sub model. Sub model pertama adalah penentuan jenis sayuran yang diunggulkan menggunakan kombinasi teknik pareto dan metode perbandingan eksponensial (MPE). Sub model kedua adalah sistem pakar untuk menentukan kebutuhan pasokan menggunakan logika fuzzy. Sub model ketiga
adalah optimasi alokasi pasokan menggunakan programa linear obyektif majemuk fuzzy. Model yang dibangun kemudian diterapkan pada sebuah perusahaan agroindustri sayuran dengan produk unggulan terpilih adalah paprika merah. Analisis terhadap prilaku model juga dilakukan untuk skenario pesimis dan optimis.


PENDAHULUAN

Perkembangan studi rantai pasok sangat pesat perkembangannya. Beragam model telah
dikembangkan. Pada umumnya model berdasarkan programa matematis dengan berbagai teknik
diantaranya Vidal & Goetschalkx (2001) menggunakan programa non linear, Shervais & Shannon
(2000) dan Gigler et al. (2002) menggunakan programa dinamis, LeBlanc et al. (2004) menggunakan programa linear, Wouda et al. (2001), Gunnarsson et al. (2004), Bredström et al.
(2004) dan Contesse et al. (2005) menggunakan programa intejer campuran, Bogataj et al. (2005)
menggunakan teknik diferensial. Penerapan kecerdasan buatan menjadi salah satu cara untuk
mengatasi rantai pasok dalam lingkungan ketidakpastian. Salah satu metode yang cukup dikenal
adalah logika fuzzy. Menururt Petrovic et al. (1999) penerapan logika fuzzy dalam manajemen
rantai pasok cukup beralasan karena memiliki kemampuan komputasi yang diperlukan untuk
menghadapi situasi yang tidak tegas sebagai akibat efek bullwhip. Menurut Lee et al. (1997) ada
empat penyebab mayor efek bullwhip yaitu prakiraan permintaan, batching pemesanan, fluktuasi
harga serta kemampuan pasokan.
Penerapan logika fuzzy dalam rantai pasok telah dibahas oleh Petrovic et al. (1999), Carlsson
dan Fuller (2000), Panda & Kar (2005), Rotshtein & Rakityanskaya (2006) dan Getharamani et al.
(2006) mengembangkan model persediaan dalam kerangka manajemen rantai pasok. Perhatian
yang lebih luas untuk pembahasan rantai pasok menggunakan teknik fuzzy masih sangat
dibutuhkan. Pada rantai pasok sayuran, penentuan jumlah dan alokasi pasokan dari berbagai
sumber menjadi masalah karena situasi yang sebenarnya tidak tegas pada jumlah tertentu dan tidak
dapat digambarkan secara persis.
Studi ini bertujuan menerapkan logika fuzzy dalam pada rantai pasok agroindustri sayuran
dengan memilih jenis produk yang diunggulkan, menerapkan sistem inferensi fuzzy untuk
menentukan jumlah pasokan dengan mempertimbangkan permintaan dan persediaan dan
membangun model programa linear fuzzy obyektif majemuk untuk menentukan kombinasi
pasokan optimal dari setiap pemasok yang dipertimbangkan. Studi dilakukan pada sebuah
perusahaan agroindustri hortikultura dengan salah satu produknya adalah sayuran. Alternatif
pemasok didasarkan kebijakan kemitraan yang telah dilakukan oleh perusahaan selama ini. Rantai
pasok yang dibahas dalam studi ini adalah pemasok dan pemrosesan. Pendistribusian kesetiap
pelanggan secara rinci tidak bahas dalam studi ini.
METODE PENELITIAN
Formulasi Model
Dalam studi ini perencanaan pasokan dilakukan untuk satu jenis sayuran yang berkontribusi
paling besar terhadap penjualan. Berdasarkan hal ini maka dibangun beberapa sub model sebagai
tahapan untuk mendapatkan jumlah alokasi pasokan untuk setiap pemasok. Tahapan
pembangunan model alokasi pasokan terdiri dari pemilihan produk unggulan, perencanaan
kebutuhan pasokan dan alokasi pasokan kepada setiap pemasok
Model Alokasi Pasokan
Sub model ketiga adalah model untuk menentukan jumlah alokasi pasokan dari setiap
pemasok. Model yang digunakan adalah programa linear obyektif majemuk. Fungsi obyektif yang
digunakan adalah biaya pembelian, kualitas dan pengiriman. Formulasi model dan prosedur
penyelesaian merujuk pada Kagnicioglu (2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan Produk Unggulan

Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menentukan jenis sayuran yang diunggulkan.
Tahap ini menerapkan sub model pemilihan produk unggulan yang menggunakan teknik pareto
dan metode perbandingan eksponensial. Jumlah jenis sayuran yang dianalisis sebanyak 54 jenis.
Ragam sayuran yang mampu diproduksi oleh perusahaan sangat banyak. Namun, tidak seluruh
jenis sayuran mampu diproduksi sendiri. Keterbatasan inilah yang mendorong perusahaan untuk
membangun kerjasama dalam bentuk mitra tani dan mitra beli. Kondisi ini sangat dimungkin
karena perusahaan berada di wilayah pertanian sayuran. Hasil perhitungan persentase kontribusi
penjualan setiap produk selanjutnya dikumulatifkan untuk mendapatkan kontribusi keseluruhan.
Untuk mendapatkan jenis sayuran yang diunggulkan maka diperlukan plotting grafik pareto.
Gambar 3 adalah grafik pareto pengelompokan jenis sayuran. Berdasarkan analisis pareto ini
dapat diklasifikasikan jenis-jenis sayuran menjadi tiga kelompok yaitu kelompok A, kelompok B
dan kelompok C. Pengelompokkan ini didasarkan pada prinsip pareto dimana pengelompokan A
untuk rentang sampai dengan 80%, kelompok B adalah 80-90% dan kelompok C adalah 90-100%
(Smith 1989).
                                                                             
Penentuan Kebutuhan Pasokan
Dasar pemikiran formulasi keputusan yang patut dipertimbangkan adalah meminimumkan
persediaan dan mengatasi resiko produk yang tidak sesuai spesifikasi. Disebabkan sumber dari
berbagai pemasok tentunya perlu dilakukan pensortiran untuk mengurangi resiko sayuran yang
rusak dibeli oleh perusahaan.
Alokasi Pasokan
Pengalokasian dilakukan menggunakan programa linear obyektif majemuk. Obyektif yang
digunakan dalam model ini adalah minimisasi biaya pasokan, minimisasi jumlah sayuran yang
rusak dan maksimisasi ketepatan jadwal pasokan. Data yang dibutuhkan untuk total biaya pasokan
adalah biaya per ton dari setiap pemasok. Rata-rata persentase kerusakan sayuran yang dipasok
adalah data yang dibutuhkan untuk obyektif kualitas. Rata-rata persentase ketepatan jadwal
pasokan adalah data untuk obyektif jadwal pasokan.

Kesimpulan
Model yang dibangun dapat membantu pengambil keputusan dalam penentuan kebutuhan
pasokan dan pengalokasiannya kepada setiap pemasok. Penerapan logika fuzzy sangat membantu
mempermudah permodelan tanpa mengurangi tingkat kompleksitas dari sistem rantai pasok
sayuran. Hasil penerapan sub model 1 memilih jenis paprika merah sebagai sayur unggulan.
Apabila diperhatikan ternyata jenis paprika secara umum memiliki nilai bobot yang tinggi. Pada
tingkat permintaan normal dengan nilai crisp 5.7 ton dengan status persediaan sedikit dengan nilai
crisp 0.05 ton dibutuhkan pasokan sejumlah 6 ton. Pengalokasian kesetiap pemasok diperoleh
masing-masing: internal (x1) sebesar 3000 kg, mitra beli (x2) sebesar 2345.3 kg, mitra tani (x3)
sebesar 654.7 kg dan nila keanggotaan λ sebesar 0.609. Analisis terhadap prilaku model juga
dilakukan untuk skenario pesimis dan optimis